(judul adalah kebingungan empunya) "jadi, awanmu di tempatmu dan tempatku sama ya warnanya?"
Suara serak menggenangi pagi, aku memaksakan bicara. Alih2 menyeimbangkan kediaman yg kau namakan kegugupan.
"Iya, memang ada awan yg tak berwarna putih?" Alismu terseritkan(ntah ada atau engga kata ini) mengikuti gerak mata yg tersipitkan.
"Hahahaha, ntah. Di dunia yg belum ku temui dengan menapakan kaki, awan berwarna jingga. Ada biru muda dan putih cahaya melatarinya." ku gerakan jari , menguguskan garis2 lentur di antara biru tenang kelangitan.
"Itu memang sedang senja." Kau memaksa benar, membenahi kecerobohanku dalam berfiksi.
Aku diam, memilih tertawa dalam hati mendapatimu menakar wajah sedikit kesal.
Lama-lama kita melangkahi sisa2 tanah setapak dengan kiri kanan persawahan. Ntah mengapa aku ingin lebih lama memandangi bahu tegap dengan tinggi sekitar 175cm, kulit kecoklatan berseevels grey dengan daleman t-shirt black.
Berkali-kali kau mengawasi langkah lambatku dari depan, berkali-kali aku tertawa melihat siput-siput berjalan.
"cmon, ibuku menunggu" teriakanmu gusar, terpaksa ku lambaikan salam pada siput2 kegelapan dan sedikit berlari mengejar keangkuhanmu.
Dari jarak 3meter, termampang nama pemakaman. Aku yg sedikit kepegalan tak kau persilahkan dijedai waktu kau diam dan menunggu aku sampai.
Ya, menyebalkan,egois,pembangkang,kadang manja dan merajuk untuk tak ditinggal.
Ku teriaki namamu "zack, WAITING FOR ME PLEASE. Aku wanita, hellsku lengket" ku angkat rok hingga selutut, melepas pengait hellsku,menyilahkan telapak kaki menapaki tanah lengket kecoklatan
Kau tertawa dari dalam pemakaman, yah senyum itu. Ntah gula apa yg kau pakai demi membingkai senyum seindah itu.
Lariku mulai tangkas, seraya mengatur paragraf pidato nanti di pemakaman. Aku mengomel, mengahikimi tiap salah yg beruntut kau lakukan.
"Dasar lelaki, inginnya cepat saja. Tanpa niatan menggendong sang pacar"
"Haha, kau kan angel bisa terbang" kau mencubit pipi kiri, mencari kemungkinan aku luluh.
Aku manyun dibuat-buat. Selanjutnya ikut tertawa dalam lelucon hebat.
Setahun kemudian "Dear Ibumu.
Aku mau mendongengkan kehidupan sekarang, di mana sosok Anakmu dengan seribu kekanakannya memaksaku menjadi sedikit lebih tua. Bukan saja dewasa, aku juga harus seringkali menyiraminya agar ia bangun subuh dan berdo'a untukmu. Tak jarang menghanduki, yg sebelumnya memasakan air agar ia tak malas mandi untuk lekas bersiap menghadiri pengajian. Juga pernah membentak dan menangis kala berjam-jam menunggu jemputan, tapi anakmu ini malah asik hunting dengan partner di mayanya. Aku tak tau apa arti kesetian, aku hanya belajar mengendalikan tiap energi yg anakmu punya agar menjadi lebih berguna. Menunggunya lembur dan aku malah ditinggal di meja makan sementara ia memeluk guling kelelahan. Ini bukan keluhan, hanya bagian dari laporan bahwa pangeranmu baik2 saja. Meski belum sepenuhnya ku kendalikan, ia pernah menangis kala tau aku tak menyentuh lengan ketika membangunkannya. Katanya, ia takut juga kehilangan"
ku akhiri pidato dengan mengatupkan tangan, dan lafadzalan do'a tenang.
Ku sentuh nisan coklat dengan nama indah, dan sedikit lewatan tangis.
"Bundaku bilang, kau harus menggunakan tongkatmu untuk menyihirku" lelakimu menyentu pundakku. Ya suami aneh.
"lekas berdo'a" aku berdiri, lebih dulu berjalan ke luar. Ntah apa yg kau ikrarkan, ku lihat samar dari gerbang pemakaman rintik air asin dari bola mata indahmu.
Paska pidato tahunan. Kami mulai tegas mengambil langkah, tanpa berat, tanpa suara, tanpa tawa khas bocah.
"Aku mau punya anak perempuan sepertimu" agar ada 2 angel di rumah. Agar ada angel lain yg mengingatkanku, yg memayungiku dengan kebaikannya.
Kau menggengagam jemari lemasku. Antara bahagia atau terharu aku dibuatnya.
Ya, denganmu. Tiap hari adalah jatuh cinta dengan manja dan segala ego.
(dikutip dari buku tak bernama) By: dine
As posted on www.MobineSSia.com
Suara serak menggenangi pagi, aku memaksakan bicara. Alih2 menyeimbangkan kediaman yg kau namakan kegugupan.
"Iya, memang ada awan yg tak berwarna putih?" Alismu terseritkan(ntah ada atau engga kata ini) mengikuti gerak mata yg tersipitkan.
"Hahahaha, ntah. Di dunia yg belum ku temui dengan menapakan kaki, awan berwarna jingga. Ada biru muda dan putih cahaya melatarinya." ku gerakan jari , menguguskan garis2 lentur di antara biru tenang kelangitan.
"Itu memang sedang senja." Kau memaksa benar, membenahi kecerobohanku dalam berfiksi.
Aku diam, memilih tertawa dalam hati mendapatimu menakar wajah sedikit kesal.
Lama-lama kita melangkahi sisa2 tanah setapak dengan kiri kanan persawahan. Ntah mengapa aku ingin lebih lama memandangi bahu tegap dengan tinggi sekitar 175cm, kulit kecoklatan berseevels grey dengan daleman t-shirt black.
Berkali-kali kau mengawasi langkah lambatku dari depan, berkali-kali aku tertawa melihat siput-siput berjalan.
"cmon, ibuku menunggu" teriakanmu gusar, terpaksa ku lambaikan salam pada siput2 kegelapan dan sedikit berlari mengejar keangkuhanmu.
Dari jarak 3meter, termampang nama pemakaman. Aku yg sedikit kepegalan tak kau persilahkan dijedai waktu kau diam dan menunggu aku sampai.
Ya, menyebalkan,egois,pembangkang,kadang manja dan merajuk untuk tak ditinggal.
Ku teriaki namamu "zack, WAITING FOR ME PLEASE. Aku wanita, hellsku lengket" ku angkat rok hingga selutut, melepas pengait hellsku,menyilahkan telapak kaki menapaki tanah lengket kecoklatan
Kau tertawa dari dalam pemakaman, yah senyum itu. Ntah gula apa yg kau pakai demi membingkai senyum seindah itu.
Lariku mulai tangkas, seraya mengatur paragraf pidato nanti di pemakaman. Aku mengomel, mengahikimi tiap salah yg beruntut kau lakukan.
"Dasar lelaki, inginnya cepat saja. Tanpa niatan menggendong sang pacar"
"Haha, kau kan angel bisa terbang" kau mencubit pipi kiri, mencari kemungkinan aku luluh.
Aku manyun dibuat-buat. Selanjutnya ikut tertawa dalam lelucon hebat.
Setahun kemudian "Dear Ibumu.
Aku mau mendongengkan kehidupan sekarang, di mana sosok Anakmu dengan seribu kekanakannya memaksaku menjadi sedikit lebih tua. Bukan saja dewasa, aku juga harus seringkali menyiraminya agar ia bangun subuh dan berdo'a untukmu. Tak jarang menghanduki, yg sebelumnya memasakan air agar ia tak malas mandi untuk lekas bersiap menghadiri pengajian. Juga pernah membentak dan menangis kala berjam-jam menunggu jemputan, tapi anakmu ini malah asik hunting dengan partner di mayanya. Aku tak tau apa arti kesetian, aku hanya belajar mengendalikan tiap energi yg anakmu punya agar menjadi lebih berguna. Menunggunya lembur dan aku malah ditinggal di meja makan sementara ia memeluk guling kelelahan. Ini bukan keluhan, hanya bagian dari laporan bahwa pangeranmu baik2 saja. Meski belum sepenuhnya ku kendalikan, ia pernah menangis kala tau aku tak menyentuh lengan ketika membangunkannya. Katanya, ia takut juga kehilangan"
ku akhiri pidato dengan mengatupkan tangan, dan lafadzalan do'a tenang.
Ku sentuh nisan coklat dengan nama indah, dan sedikit lewatan tangis.
"Bundaku bilang, kau harus menggunakan tongkatmu untuk menyihirku" lelakimu menyentu pundakku. Ya suami aneh.
"lekas berdo'a" aku berdiri, lebih dulu berjalan ke luar. Ntah apa yg kau ikrarkan, ku lihat samar dari gerbang pemakaman rintik air asin dari bola mata indahmu.
Paska pidato tahunan. Kami mulai tegas mengambil langkah, tanpa berat, tanpa suara, tanpa tawa khas bocah.
"Aku mau punya anak perempuan sepertimu" agar ada 2 angel di rumah. Agar ada angel lain yg mengingatkanku, yg memayungiku dengan kebaikannya.
Kau menggengagam jemari lemasku. Antara bahagia atau terharu aku dibuatnya.
Ya, denganmu. Tiap hari adalah jatuh cinta dengan manja dan segala ego.
(dikutip dari buku tak bernama) By: dine
As posted on www.MobineSSia.com
No comments:
Post a Comment